yuk belajar akuntansi semangat semangat \(^0^)/

Sabtu, 30 Juni 2012

TRANSLASI MATA UANG ASING


Pengertian:
Proses pelaporan informasi keuangan  dari satu mata uang asing ke mata uang asing lainnya.

Alasan:
Perusahaan dengan kegiatan operasional luar negeri (perusahaan multinasional) yang signifikan mempersiapkan laporan keuangan konsolidasi (gabungan) yang memberikan informasi kepada pembaca informasi mengenai operasional perusahaan secara global. Untuk dapat memenuhi hal tersebut, laporan keuangan dengan mata uang asing dilaporkan lagi dengan menggunakan mata uang yang digunakan perusahaan induk pada laporan keuangannya melalui translasi mata uang.

Tujuan:
1.    Untuk mencatat transaksi mata uang asing
2.    Memperhitungkan efek perusahaan terhadap translasi mata uang
3.    Berkomunikasi dengan peminat saham asing

Permasalahan:
1.    Nilai relatif mata uang asing tidak pernah stabil
2.    Tingkat variabilitas nilai tukar
3.    Perbedaan metode translasi mata uang asing
4.    Penanganan terhadap kerugian dan keuntungan translasi mata uang asing
5.    Sulit untuk membandingkan dengan perusahaan lain yang menggunakan mata uang berbeda

Translasi dan konversi:
Translasi mata uang asing tidak sama dengan konversi, yaitu translasi mata uang secara fisik. Translasi mata uang asing merupakan translasi sederhana dalam ekspresi moneter, seperti saat neraca menggunakan poundsterling Inggris kemudian disajikan ulang dalam padanannya dolar AS. Tidak terjadi translasi secara fisik, dan tidak ada transaksi yang dapat dihitung seperti pada konversi.

Translasi dan Transaksi:
Perbedaannya yaitu translasi pencatatan pembukuan keuangan dengan menggunakan mata uang asing, namun pada saat penjualan dan pembelian menggunakan mata uang domestik. Sedangkan transaksi, pada saat melakukan penjualan dan pembelian atau pada saat pinjam meminjam menggunakan mata uang asing.

Perhitungan translasi (ni dy nih yang ditunggu2)
Sedikit tentang latar belakangnya. Mata uang pada perdagangan negara-negara utama dibeli dan dijual pada pasar global. Peserta pasar ini seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, perusahaan bisnis, individu dan pedagang internasional yang dihubungkan oleh jaringan komunikasi modern. Transaksi mata uang asing bisa terjadi langsung di pasar spot, pasar forward, atau di pasar swap.
Pasar Spot (menggunakan harga yang berlaku saat ini)
Kurs di pasar spot bersifat langsung dan tidak langsung. Pada translasi langsung, kurs menetapkan jumlah unit mata uang domestik yang dibutuhkan untuk mendapatkan unit mata uang asing. Contoh: pada hari yang ditetapkan, 1 rupee India mungkin sekitar $0,02232. Translasi tidak langsung berkebalikan dengan translasi langsung. Contoh: untuk mendapatkan $1 kita membutuhkan 44,8 rupee (1/0,02232).
Nah jika translasi pada neraca, contohnya seperti ini:
Nominal Kas di neraca = 1.000.000 rupee
Maka dicabang AS (ditranslasikan dengan dolar AS dgn menggunakan harga yg berlaku saat ini)
Kas = 1.000.000 X $0,02232 = $22.320 (secara langsung) atau
         1.000.000 X 44,8 rupee= $22.320 (tidak langsung)
Dari perhitungan diatas dibuatkan rumus untuk perhitungan translasi pada pasar spot, yaitu:
Nilai Nominal
Kurs Saat ini

Pasar Forward (menggunakan harga yang berlaku dimasa yang akan datang)
Pada pasar forward, translasi mata uang asing telah ditetapkan untuk masa yang akan datang. Translasi pada pasar forward akan mendapatkan potongan atau premi yang telah ditetapkan dari pasar spot.
Contoh: jika di pasar spot 1 rupee india adalah $0,02232 maka di pasar forward 1 rupee india adalah $0,02462 (harga yang berlaku 6 bulan kedepan), dijual dengan premi 1,9 % di Amerika Serikat.
Cara ngitung preminya:

Kurs Forward -Kurs Spot
X
12
Kurs Spot
n
$0,02462 - $0,02232
X
12
=
0,1982  =  1,9%
$0,02232
6

Pasar Swap
Pada pasar swap pembelian menggunakan metode pasar spot & penjualan menggunakan metode pasar forward atau bisa juga sebaliknya.

Dikembangkan dari sumber: International accounting, (Buku 1 Ed. 6) Frederick D.S. Choi & Gary K.Meek

Jumat, 15 Juni 2012

Beberapa fakta tentang kebijakan dividen

Karna skripsi saya membahas tentang kebijakan dividen. So, saya jadi banyak membaca tentang dividen dari beberapa sumber literatur dan jurnal penelitian terdahulu. Dan dari yang saya baca, setiap penulis memberikan argumen masing2 tentang kebijakan dividen. Beberapa teori juga memberikan argumen masing2 mengenai kebijakan dividen dari berbagai sudut pandang.. Okay, here the arguments..


Abdul Kadir (2010)
Tingkat pengembalian investasi berupa pendapatan dividen tidak mudah diprediksi. Kebijakan dividen adalah kebijakan yang sulit dan dilematis bagi manajemen perusahaan (bikin manajemen jadi galau,, hee..). Kebijakan dividen dianalogikan sebagai sebuah puzzle yang berkelanjutan. Penetapan jumlah yang tepat untuk dibayarkan sebagai dividen adalah sebuah keputusan finalsial yang sulit bagi pihak manajemen. Keputusan suatu perusahaan mengenai dividen terkadang diintegrasikan dengan keputusan pendanaan dan keputusan investasinya. Keputusan manajemen perusahaan menahan laba dengan pembagian dividen rendah mungkin disebabkan karena manajemen sangat concern tentang kelangsungan hidup perusahaan, melakukan penahanan laba (retained earning) untuk melakukan ekspansi atau membutuhkan kas untuk operasi perusahaan. 

Amalia (2011),
Kebijakan dividen merupakan kebijakan yang sulit karena pihak perusahaan harus memutuskan apakah harus membagikan bagian keuntungan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen ataukah menahannya dan jika akan dibagikan sebagai dividen, berapa besar bagian keuntungan yang akan dibagikan sebagai dividen tersebut (galau lagi kan.. hee). Semakin tinggi dividen yang dibayarkan, maka investor / pemegang saham akan semakin diuntungkan tapi di sisi lain akan memperkecil laba ditahan, dan makin sedikit dana yang tersedia untuk reinvestasi sehingga tingkat pertumbuhan yang diharapkan akan rendah untuk masa mendatang.

Brigham dan Houston (2001)
Jika perusahaan menaikkan DPR maka harga saham akan naik Hal ini dikarenakan kebijakan dividen dapat memberi kesan kepada para investor bahwa perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. Arsanda (2011), tetapi sebaliknya jika dividen yang dibayarkan semakin kecil maka akan merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal finansial perusahaan semakin kuat karena semakin banyak jumlah laba yang ditahan.

Robert Ang (1997),
Investor umumnya menginginkan pembagian dividen yang relatif stabil karena dengan stabilitas dividen tersebut dapat meningkatkan kepercayaan terhadap perusahaan, sehingga mengurangi unsur ketidakpastian dalam investasi.


Teori agensi,
 
Jika laba (profit) tidak dibagikan kepada pemegang saham, laba tersebut mungkin akan dialokasikan pada proyek-proyek yang kurang menguntungkan (unprofitable projects) sehingga menguntungkan manajemen perusahaan atau mungkin digunakan untuk keperluan personal. Dengan kata lain pemegang saham lebih menyukai dividen dari pada laba yang ditahan (retained earnings).

Teori signalling
Dividen dianggap sebagai signal bagi investor karena menggambarkan prospek perusahaan di masa mendatang. Dividen diasumsikan sebagai informasi yang didistribusikan secara asimetri antara manajer dan investor, dimana manajer memiliki informasi yang lebih besar daripada investor (memungkinkan para manajer untuk memanipulasi akrual.. bahaya eyy). Dividen yang dijadikan signal dan transmitter of information dapat membantu partisipan pasar untuk menilai kinerja perusahaan. Dividen sebagai signal bagi pihak luar mengindikasikan bahwa  kebijakan dividen mengandung banyak informasi bagi investor sehingga berpengaruh terhadap harga saham.Tetapi ada argumen lain yang lebih masuk akal yaitu dividen itu sendiri tidak menyebabkan kenaikan atau penurunan harga, tetapi prospek perusahaan yang ditunjukkan oleh meningkat atau menurunnya dividen yang dibayarkan, yang menyebabkan perubahan harga saham (masuk akal juga).

Lintner (1956),
Perusahaan-perusahaan secara umum mengikuti proses yang adaptif dalam kebijaksaanan dividennya. Pihak perusahaan cenderung tidak menurunkan jumlah dividen yang dibayarkan. Bahkan mereka cenderung masih mendistribusikan dividen seperti pada periode-periode sebelumnya walaupun perusahaan tersebut mengalami penurunan laba bersih. Di samping itu pihak perusahaan cenderung meningkatkan dividen bila yakin terjadi peningkatan yang permanen atas laba bersihnya.

Atika Jauhari Hatta (2002),
Berkaitan dengan kebijakan deviden, terlihat bahwa terdapat beberapa pihak yang saling berbeda kepentingan, yaitu antara kepentingan pemegang saham, pemegang obligasi, dan pihak perusahaan itu sendiri. Besar kecilnya deviden yang akan dibayarkan oleh perusahaan tergantung pada kebijakan deviden dari masing-masing perusahaan, sehingga pertimbangan manajemen sangat diperlukan.



Litzenberger dan Ramaswamy (1979),
Semakin tinggi dividend payout ratio suatu perusahaan, maka nilai perusahaan tersebut akan semakin rendah. Hal ini didasarkan pada pemikiran jika capital gain dikenakan pajak dengan tarif yang lebih rendah daripada pajak atas deviden, maka saham yang memiliki pertumbuhan yang tinggi akan menjadi lebih menarik dan lebih banyak diminati. Berkaitan dengan clientile effect, terdapat dua kelompok investor, yaitu investor yang lebih menyukai untuk memperoleh pendapatan saat ini dalam bentuk pembagian deviden, namun ada pula investor yang menyukai untuk menginvestasikan kembali pendapatan mereka, karena investor ini berada dalam tarif pajak yang cukup tinggi. Dengan adanya dua kelompok tersebut, maka ada kecenderungan perusahaan untuk enggan melakukan perubahan kebijakan deviden. Hal ini disebabkan perubahan kebijakan deviden akan mengakibatkan beberapa investor akan menjual sahamnya, dan sebagai akibatnya harga saham akan mengalami penurunan.

Teori stakeholder Cornell dan Shapiro
Tingkat dari net operating income dari perusahaan dapat dipengaruhi oleh keputusan finansial, seperti rasio pembayaran deviden (deviden-payout ratio). Dengan kata lain kas yang seharusnya digunakan untuk investasi dan nantinya akan memperbesar net operating income perusahaan, akan menjadi berkurang jumlahnya jika digunakan untuk membayar deviden.

Brigham dan Gapenski (1999),
Setiap perubahan dalam kebijakan dividen akan memiliki dua dampak yang berlawanan. Apabila dividen akan dibayarkan semua kepentingan cadangan akan terabaikan. Sebaliknya jika laba ditahan semua maka kepentingan pemegang saham akan uang kas akan terabaikan juga.

Saxena (1999),
Isu tentang dividen sangat penting dengan berbagai alasan antara lain: Pertama, perusahaan menggunakan dividen sebagai cara untuk memperlihatkan kepada pihak luar atau calon investor sehubungan dengan stabilitas dan prospek pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang. Kedua, dividen memegang peranan penting pada struktur permodalan perusahaan.

Dharmastuti, Stella, dan Eviyanti (2003),
Dalam menetapkan kebijakan dividen, seorang manager keuangan menganalisis sampai seberapa jauh pembelanjaan dari dalam perusahaan sendiri yang akan dilakukan oleh perusahaan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini mengingat bahwa hasil operasi yang ditanamkan kembali dalam perusahaan sesungguhnya adalah dana pemilik perusahaan yang tidak dibagikan sebagai dividen. Oleh sebab itu, atas dasar pertimbangan antara risiko dan hasil, perlu diputuskan apakah lebih baik hasil operasi tersebut dibagikan saja sebagai dividen ataukah ditanamkan kembali dalam bentuk laba ditahan, yang merupakan sumber dana permanen yg perlu dipertimbangkan pemanfaatannya dalam perluasan & pengembangan usaha perusahaan.

Junaidi (2008), 
Meningkatnya jumlah dividen yang dibayarkan secara tunai akan mengakibatkan rendahnya kemampuan likuiditas perusahaan untuk membiayai operasi. Oleh karena itu diperlukan opsi lain pembayaran dividen dalam bentuk saham atau bentuk aktiva lainnya selain kas. 

Teori Residual
Menurut teori residual dividen, perusahaan akan membayarkan dividen kepada pemegang saham hanya jika perusahaan tersebut sudah tidak mempunyai kesempatan melakukan suatu investasi yang menguntungkan, dalam hal ini net present value yang positif.

Menurut Hanafi (2004)
Alasan lain pembayaran deviden adalah untuk menghindari akuisisi oleh perusahaan lain. Perusahaan yang mempunyai kas yang berlebihan seringkali menjadi target dalam akuisisi. Untuk menghindari akuisisi, perusahaan tersebut bisa membayarkan deviden, dan sekaligus dapat membuat senang pemegang saham (intinya pemegang saham suka klo ada pemasukan dari investasinya walopun kecil). 
(Akuisisi adalah bentuk pengambil alihan kepemilikan perusahaan oleh pihak pengakuisisi sehingga mengakibatkan berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih tersebut. Biasanya pihak pengakuisisi memiliki ukuran yang lebih besar dibanding dengan pihak yang diakuisisi.)

Menurut Damayanti dan Achyani (2006)
Pada umumnya para investor mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraannya yaitu dengan mengharapkan return dalam bentuk dividen maupun capital gain. Di lain pihak, perusahaan juga mengharapkan adanya pertumbuhan secara terus menerus untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, yang sekaligus juga harus memberikan kesejahteraan yang lebih besar kepada para pemegang sahamnya. Selanjutnya dividen diterima pada saat ini akan mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada capital gain yang akan diterima di masa yang akan datang. Dengan demikian investor yang tidak bersedia berspekulasi akan lebih menyukai dividen daripada capital gain.

So kesimpulannya.. kebijakan dividen menjadi hal sangat penting bagi perusahaan. yah karna kebijakan dividen ini menjadi sinyal bagi investor mengenai kondisi perusahaan. Sehingga bagi manajer perusahaan maupun para investor perlu melakukan analisis terhadap kebijakan dividen dengan melihat dari rasio2 keuangan yang berpengaruh terhdp dividend policy. Dari skripsi yang saya buat, saya meneliti rasio PER dan PBV. En final resultnya bahwa rasio keuangan yang sangat berpengaruh signifikan terhadap dividend payout ratio adalah PER yang mengandung informasi mengenai Earning per Share perusahaan. Gimana ga ngaruh coba. Perhitungan DPR aja dihitung dari dividend per share dibagi Earning per Share. Jelas ngaruh kan?? hehehe... jadi maksud hasil penelitian dalam skripsi saya itu, bahwa sesungguhnya.. dengan melihat EPS bisa bantu manajer perusahaan buat bikin keputusan kebijakan dividen (DPR) dan bantu investor untuk melihat kewajaran dividen yang dibagikan. Dengan melihat PER maka diketahui bahwa perusahaan memiliki EPS yang bagus atau mengalami peningkatan yang juga brarti perusahaan memiliki prospek yang bagus dimasa mendatang (as signalling theory),, so patut buat dipertahanin sahamnya. Sekian. Viss..




Kamis, 14 Juni 2012

Kebijakan Dividen (Dividend Policy)

a. Dividen
Menurut Rofelawaty (2006: 108) Dividen adalah bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada para pemegang saham. Dividen tersebut dapat berupa uang, skrip (script), saham perusahaan (berupa saham investasi atau barang lainnya). Dividen timbul setelah direksi mengumumkan akan membagikan dividen, dan kebijaksanaan pembagian harus berdasarkan persetujuan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). KUHD pasal 49 menyebutkan bahwa perusahaan boleh membagikan dividen kalau perusahaan tersebut memiliki laba, tetapi tidak setiap perusahaan yang memperoleh laba dapat membagikan dividen. Karena untuk membagikan dividen memerlukan uang atau aktiva lain. Puspita (2009: 34) menyatakan Dividen merupakan sebagian dari laba bersih yang diperoleh perusahaan, oleh karenanya dividen akan dibagikan jika perusahaan memperoleh laba. Laba yang layak dibagikan kepada para pemegang saham adalah laba setelah perusahaan memenuhi seluruh kewajiban tetapnya yaitu beban bunga dan pajak. Karena dividen diambil dari laba bersih maka laba tersebut mempengaruhi besarnya dividen. Semakin besar laba yang diperoleh, maka semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 
  
b. Jenis-jenis Dividen 

Dilihat dari bentuk dividen yang dibagikan kepada pemegang saham, dividen dibedakan menjadi:
  1. Dividen tunai (Cash Dividend), yaitu dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang tunai (kas).
  2. Dividen Skrip (Script Dividend), yaitu dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk skrip (surat tanda hutang).
  3. Dividen saham (Stock Dividend), yaitu dividen yang dibagikan dalam bentuk modal saham perusahaan tersebut.
  4. Dividen Barang (Property Dividend), yaitu dividen yang dibagikan tidak berupa uang tunai atau modal saham tetapi dalam bentuk barang (aktiva tetap) atau investasi (surat-surat berharga).
  5. Dividen Likuidasi (Liquidation Dividend), yaitu dividen yang dibagikan sebagai akibat dilikuditaskannya perusahaan. dividen ini dibagikan dengan tujuan pengembalian modal penyertaan kepada para pemegang saham. Dividen yang dibagikan  adalah selisih antara nilai realisasi aset perusahaan dikurangi dengan semua kewajibannya.  
Ada 3 macam tanggal yang relevan dengan dividen yaitu, tanggal pengumuman yaitu tanggal direksi mengumumkan akan membagikan dividen, tanggal pencatatan yaitu tanggal registrasi para pemegang saham, dan tanggal pembayaran yaitu tanggal  pembayaran dividen.
c. Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen merupakan hal yang penting bagi perusahaan karena mempengaruhi kesempatan investasi, harga saham, struktur finansial, arus pendanaan dan posisi likuiditas. Menurut Intan (2009 : 21) “kebijakan dividen (dividend policy) adalah keputusan pihak manajemen untuk menentukan perlakuan terhadap earning after tax (EAT), apakah dibagikan sebagai dividen, diinvestasikan kembali, atau sebagian dividen, sebagian lagi diinvestasikan kembali ke dalam perusahaan”. Pengalokasian laba yang tepat, sangat penting bagi suatu perusahaan sehingga pertumbuhan perusahaan (rate of growth) dan kesejahteraan para pemegang saham dapat terjamin. Aspek utama dalam kebijakan dividen adalah penentuan alokasi laba (earning) sebagai dividen atau laba ditahan (retained earning). Menurut Purwanti (2009: 2) “dividen merupakan bagian dari laba yang tersedia bagi para pemegang saham biasa dalam bentuk tunai. Dan laba ditahan adalah bagian dari laba yang tersedia bagi para  pemegang saham biasa yang ditahan oleh perusahaan untuk diinvestasikan kembali (reinvestment) dengan tujuan untuk mengejar pertumbuhan perusahaan (rate of growth)”. Laba sebaiknya tidak dibagikan seluruhnya sebagai dividen, sebagian harus disisihkan atau ditahan. 

d. Teori Kebijakan dividen

Dalam dunia keuangan, pada dasarnya terdapat 3 konsep tentang kebijakan dividen, yaitu: irrelevance theory, bird in the hand theory, dan tax preference theory.
a. Irrelevance theory
Irrelevance theory adalah suatu teori yang menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh baik terhadap nilai perusahaan maupun terhadap biaya modalnya. Menurut teori ini, kebijakan dividen tidak mempengaruhi harga saham ataupun cost of capital perusahaan. Oleh karena itu, kebijakan dividen menjadi tidak relevan (irrelevant). Teori ini dikembangkan oleh Miller dan Modigliani (1961), yang menyatakan bahwa nilai perusahaan hanya ditentukan oleh expected earnings dan risiko perusahaan. Nilai perusahaan hanya tergantung pada laba yang diekspektasikan dari aktiva, bukan dari pemisahan laba menjadi dividen dan laba ditahan. Teori ini menganggap bahwa kebijakan dividen tidak membawa dampak apa-apa bagi nilai perusahaan. Jadi, peningkatan atau penurunan dividen oleh perusahaan tidak akan mempengaruhi nilai perusahaan.
 
b. Bird in the hand theory
Teori dari Lintner (1962), Gordon (1963), dan Bhattacharya (1979) menjelaskan bahwa investor menyukai pendapatan dividen yang tinggi karena pendapatan dividen yang diterima seperti burung di tangan (bird in the hand) yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dan risiko yang kecil daripada pendapatan modal (bird in the bush) karena dividen lebih pasti dari pendapatan modal. Teori ini juga berpendapat bahwa investor menyukai dividen karena kas di tangan lebih bernilai daripada kekayaan dalam bentuk lain. Konsekuensinya, harga saham perusahaan akan sangat ditentukan oleh besarnya dividen yang dibagikan. Peningkatan dividen akan meningkatkan harga saham yang akan berdampak pula pada nilai perusahaan.

c. Tax preference theory
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka berpendapat bahwa karena adanya pajak, maka pendapatan yang relevan adalah pendapatan setelah pajak. Teori ini merujuk kepada pengenaan pajak yang diberlakukan bagi setiap investor yang mendapat capital gain atau dividen. Pada umumnya besarnya pajak yang diberlakukan berbeda, dimana pajak untuk dividen lebih besar dibandingkan pajak untuk capital gain. Para investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Sudah tentu present value (PV) pembayaran pajaknya akan turun. Dengan dua alasan ini (pajak lebih rendah serta dapat ditundakan) maka Litzenberger dan Ramaswamy menyatakan pandangan negatif dividen bagi nilai (value) perusahaan.
Meskipun tiga konsep tersebut dianggap sebagai teori-teori utama mengenai kebijakan dividen, perkembangan ilmu keuangan modern memunculkan pendekatan baru yang lebih relevan dan lebih mampu menjelaskan kebijakan dividen dalam dunia bisnis praktis, yaitu:
a. Signalling theory
            Signalling theory is based on the assumption that information is not equally available to all parties at same time, and that information asymmetry is the rule. Information asymmetries can result in very low valuations or a suboptimum investment policy. Signalling theory states that corporate financial decisions are signals sent by the company’s managers o investors in order to shake up these asymmetries. These signals are the cornerstone of financial communications policy.
Ada kecenderungan harga saham akan naik jika ada pengumuman kenaikan dividen dan harga saham akan turun jika ada pengumuman penurunan dividen. Tetapi ada argumen lain yang lebih masuk akal yaitu dividen itu sendiri tidak menyebabkan kenaikan/penurunan harga, tetapi prospek perusahaan yang ditunjukkan oleh meningkat/menurunnya dividen yang dibayarkan, yang menyebabkan perubahan harga saham. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai teori signal atau isi informasi dari dividen (Information Content of Dividend). Menurut teori tersebut, dividen mempunyai kandungan informasi, yaitu prospek perusahaan di masa mendatang. Prinsip signalling ini mengajarkan bahwa setiap tindakan mengandung informasi. Hal ini disebabkan karena adanya asymmetric information. Asymmetric information adalah kondisi dimana suatu pihak memiliki informasi yang lebih banyak daripada pihak lain. Misalnya, pihak manajemen perusahaan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak investor di pasar modal.

b. Teori Dividen Residual (Residual Theory of Dividends)
Menurut teori dividen residual, perusahaan menetapkan kebijakan dividen setelah semua investasi yang menguntungkan habis dibiayai. Dengan kata lain, dividen yang dibayarkan merupakan ‘sisa’ (residual) setelah semua usulan investasi yang menguntungkan habis dibiayai.



Sabtu, 09 Juni 2012

Price to Book Value (PBV)


 Jika PER berfokus pada laba bersih yang dihasilkan perusahaan, PBV lebih berfokus kepada nilai ekuitas perusahaan. Price to Book Value (PBV) didefinisikan sebagai harga pasar suatu saham dibagi dengan Book Value-nya (BV). PBV juga digunakan untuk mengukur nilai suatu saham. Semakin tinggi PBV, maka semakin mahal harga sahamnya.


Perbedaan Harga pasar saham dan Harga buku saham:
Harga pasar saham (Current Price/Market Price) adalah harga yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai pasar dipengaruhi oleh besarnya permintaan dan penawaran saham bersangkutan di pasar bursa. Sedangkan Harga buku saham (Book Value) merupakan nilai saham menurut pembukuan perusahaan yang dicatat pada saat saham dijual oleh perusahaan. Nilai buku perlembar saham menunjukkan aktiva bersih yang dimiliki oleh pemegang saham dengan memiliki 1 lembar saham.

Book Value
Book Value (BV) diartikan sebagai total ekuitas dibagi dengan total saham yang beredar (Outstanding Share). Total ekuitas yang dimaksud adalah total aset perusahaan dikurangi dengan total kewajibannya. Pada perusahaan yang akan melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering) seringkali menggunakan Book Value sebagai tolak ukur untuk menilai harga saham. Caranya dengan membandingkan harga pasar dengan nilai buku (Book Value) sehingga munculah PBV. Jika PBV adalah 1 maka harga pasar sebanding dengan nilai buku. Jika rasio ini kurang dari 1 maka harga pasar kurang dari nilai buku.

Price to Book Value
Price to Book Value (PBV) juga menunjukan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan. Perusahaan yang berjalan baik umumnya mempunyai PBV diatas 1, yang menunjukkan nilai pasar lebih tinggi dari nilai bukunya. Semakin tinggi PBV semakin tinggi pula return saham. Semakin tinggi return saham akan menambah pendapatan perusahaan sehingga meningkatkan kemampuan perusahaan untuk membagikan dividen.
Rumus perhitungan PBV:

Harga Pasar Saham (Current Price)
Harga Buku Saham (Book Value)

Dalam realitas banyak sekali variasi tentang PBV. Tim BEI (2010) menyebutkan bahwa:
Harga pasar mencerminkan harga ekspektasi dari investor. Jika ekspektasi investor terhadap satu jenis saham tinggi, maka permintaan terhadap saham tersebut juga tinggi sehingga harga dipasar juga relatif tinggi. Harga pasar juga bisa rendah dari nilai bukunya. Harga saham yang berubah setiap saat di pasar ditentukan oleh fakor seperti; likuiditas saham di pasar,  jumlah floating share, dan lainnya. Sehingga harga saham di pasar tidak mencerminkan nilai buku yang sebenarnya.
(http://economy.okezone.com/read/2010/05/24/226/335717/price-to-book-value 14/4/12)

PER dan PBV:
Asep Sopyan menyebutkan bahwa PBV adalah pertimbangan pertama dalam menilai harga saham karena PBV memberikan kita margin keamanan. Jika PBV dibawah 1, berarti ada margin keamanan. Jadi, misalnya suatu perusahaan mengalami kebangkrutan, maka kita masih bisa memperoleh sebanyak nilai sebenarnya dari perusahaan tersebut. Sedangkan menurut Teguh dalam blognya, dalam memprediksi perubahan harga saham akan lebih akurat apabila menggunakan rasio PER, karena nilai laba bersih lebih mencerminkan kinerja yang sesungguhnya dari sebuah perusahaan dibanding dengan nilai ekuitas. Peningkatan ekuitas bisa saja diperoleh dari tambahan modal yang bukan berasal dari kinerja perusahaan. Sedangkan laba bersih, hampir pasti merupakan hasil dari kinerja perusahaan. Hanya saja, laba bersih perusahaan bisa saja bukan berasal dari kinerjanya secara operasional melainkan hasil dari pendapatan non operasional seperti penjualan aset dan lainnya. Untuk itu untuk menganalisis saham diperlukan pemahaman yang mendalam dan ketelitian dalam analisis saham.

Price Earning Ratio (PER)


Price Earning Ratio (PER) adalah salah satu ukuran paling dasar dalam analisis saham secara fundamental. Secara mudahnya, PER adalah rasio harga per lembar saham saat ini (Current Price) terhadap laba bersih (Earning) perusahaan. Rasio PER menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih. Semakin kecil PER berarti kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba semakin bagus. 

Dengan mengetahui PER sebuah perusahaan, maka pihak manajemen dapat menetapkan pembayaran dividen (Dividend Payout Ratio) berdasarkan informasi mengenai laba perusahaan dari rasio PER. Rumus perhitungan PER atau P/E Ratio: 
       Harga Per Lembar Saham (Current Price)
Laba Per Lembar Saham (EPS)
  
Beberapa literatur, memberikan bentuk lain dari Rumus perhitungan PER, yaitu:
       Regular Closing Price (Harga Saham Penutupan)
Laba Per Lembar Saham (EPS)
 
       Market Value Per Share (Harga Pasar Saham)
Laba Per Lembar Saham (EPS)

    Average Common Stock Price (Harga Saham Biasa)
Net Income Per Share (Laba Bersih)

Secara Fundamental, PER biasanya digunakan oleh para investor untuk mengukur tingkat kewajaran harga saham. Dalam kaitannya dengan kebijakan dividen yang dibuat perusahaan, menurut Deitiana (2009) “PER adalah ukuran tingkat harga pasar per saham terhadap laba per saham. PER menunjukan jumlah rupiah yang harus dibayar investor untuk setiap 1 rupiah laba periode berjalan. Maka semakin tinggi PER, semakin banyak mereka membayar, sehingga semakin besar pula pendapatan yang mereka harapkan”. 

Effendi (t.th) mengungkapan bahwa PER digunakan oleh para analisis sekuritas untuk melakukan penilaian atas saham. Model PER dianggap konsisten dengan dengan analisis present value karena model tersebut berkaitan dengan taksiran atas nilai intrinsik saham.  faktor-faktor yang mempengaruhi PER, yaitu “rasio laba yang dibayarkan sebagai dividen atau payout ratio, tingkat keuntungan yang diharapkan investor, dan pertumbuhan dividen. Maka semakin tinggi payout ratio semakin tinggi PER dan semakin tinggi tingkat keuntungan yang diharapkan, akan semakin rendah pula PER”.

 
Earning Per Share (EPS) adalah laba bersih suatu perusahaan dibandingkan dengan jumlah saham yang beredar (average outstanding share). Laba bersih yang dimaksud adalah laba bersih setelah dikurangi pajak (after tax profit) atau laba setelah dikurangi dividen bagi pemegang saham preferen (dividends on preferred stock).
 
Rasio EPS dapat digunakan untuk memprediksi pergerakan harga saham di bursa saham. Selain itu, EPS bisa juga digunakan untuk memprediksi nilai dividen yang akan diterima oleh investor. Perusahaan cenderung akan menaikkan pembayaran dividen ketika manajemen percaya bahwa Earning perusahaan mengalami peningkatan atau ketika profitabilitas perusahaan meningkat.

Literatur lain menyebutkan, EPS merupakan indikator keseluruhan, yaitu nilai tunggal yang memberikan informasi tentang  kinerja atau posisi keuangan perusahaan. EPS sangat populer karena diperkirakan EPS mengandung informasi yang bermanfaat dalam mebuat prediksi mengenai dividen dan harga saham dimasa mendatang, serta sebagai ukuran keefisienan suatu perusahaan. Namun, beberapa akuntan menentang penggunaan EPS sebagai indikator keseluruhan. Mereka menyatakan bahwa kinerja perusahaan membutuhkan analisis yang mendalam, tidak hanya dengan rasio tunggal.